MODUL
KEGIATAN BELAJAR 1
PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK ANAK DENGAN GANGGUAN AUTISM
A. PENGERTIAN ANAK AUTISM
Istilah autism diperkenalkan pertama
kali pada tahun 1943 oleh Dr. leo Kanner, seorang psikiater anak dari
Universitas Johns Hopkins. Autism menurut Kanner (1943 dalam paper-nya Autistic Disturbance of Affective
Contact) adalah sebagai berikut :
Inability to relate themselves in
the ordinary way of people and situations from the beginning of life
(Kuwara-2002 dalam
www.faculty.washington.edu)
Kanner
menyatakan bahwa pada sekelompok anak yang ditelitinya terlihat adanya suatu
gangguan mendasar di mana anak-anak tersebut sejak awal kehidupan tidak mampu
melakukan interaksi sosial terhadap orang lain atau situasi tertentu seperti
halnya anak yang normal (Neale, 1996). Selain itu, ditemukan pula adanya
kegagalan dalam membangun kemampuan berkomunikasi atau (terjadinya)
keterbatasan dalam berbahasa. Gejala lainnya adalah terjadinya penolakan pada
perubahan yaitu munculnya keinginan yang kuat untuk mempertahankan lingkungan
sekitar tetap sama. Anak juga menunjukkan perilaku preokupasi pada aktivitas
steretip yang berulang. Ciri-ciri tersebut oleh Kanner dikelompokkan sebagai
gejala-gejala utama autism (dalam Wenar, 1994).
Gejala-gejala autism biasanya muncul
sebelum anak mencapai usia 3 tahun dan pada sebagian anak gejalanya sudah ada
sejak lahir. Sebagian kecil penyandang autism sepmat berkembang normal, namun
sebelum usia 3 tahun perkembangan menjadi terhenti, kemudian timbul kemunduran
dan tampak gejala autism (Berkell, 1992).
B. KARAKTERISTIK ANAK AUTISM
Gangguan autism ditandai dengan anya
keterlambatan perkembangan, baik dalam bidang komunikasi, perkembangan motorik
yang tidak seimbang, maupun dalam interaksi sosial. Namun tidak semua anak yang
memperlihatkan keterlambatan perkembangan diusianya yang dini akan didiagnosis
sebagai penyandang autism. Bisa saja anak yang menunjukkan pertumbuhan dan
perkembangan yang lebih lambat dibandingkan anak seusianya pada awalnya, namun
kemudian ia akan dapat mengejar ketertinggalan tersebut dan tumbuh selayaknya
anak normal lainnya.
Saat ini para ahli di seluruh dunia
melakukan diagnosis autism berdasarkan kriteria autistic disorder yang
tercantum dalam DSM-IV TR 2000 (Diagnostic
and Statistical Manual) yang dikeluarkan oleh The American Psychiatric Association (APA). Kriteria yang digunakan
adalah kriteria klinis. Jadi yang dilihat adalah tampilan perilaku anak yang
bersnagkutan. DSM IV ini memuat 3 bidang impairment (kerusakan/kesulitan) utama
yang ada pada anak autism yaitu impairment dalam interaksi sosial, impairment
dalam komunikasi, serta munculnya pola tertentu yang dipertahankan dan
diulang-ulang (stereotyped & repetitive) dalam hal perilaku, minat dan
kegiatan. Ke-3 bidangimpairment ini dijabarkan dalam 12 kriteria. Seorang
penyandang autism disyaratkan memiliki minimal 6 gejala/perilaku yang menjadi
ciri-ciri autism.
Impairment dalam bidang interaksi
sosial antara lain ditunjukkan dengan ketidakmampuan anak untuk menjali
interaksi sosial yang cukup memadai atau adanya kegagalan dalam mempergunakan
berbagai perilaku nonverbal dalam membangun hubungan.
Selain itu karakteristik impairment
bidang interaksi sosial ini juga ditunjukkan oleh ketidakmampuan anak untuk
membangun atau membina hubungan dengan teman sebaya yang sesuai dengan
perkembangan usianya.
Impairment dalam bidang komunikasi
ditunjukkan dengan adanya keterlambatan dalam perkembangan bicara, atau
kemampuan bicara yang sama sekali tidak berkembang,
Impairment dalam hal kelakuan pola
tingkah laku, minat dan aktivitas tampak pada kegiatan yang bersifat
ritual-spesifik yang dilakukan anak.
1. Perkembangan
terlambat
2. Lebih
tertarik pada benda dibandingkan manusia
3. Tak
mau dipeluk
4. Kelainan
sensoris
5. Menunjukkan
adanya suatu pola tertentu yang dipertahankan dan diulang-ulang (Stereotyped dan Repetitive) dalam hal
perilaku, minat dan kegiatan
Aarons & Gitten (1994)
menambahkan bahwa penderita autism umumnya memiliki penampilan fisik yang
normal. Tingkat intelegensinya berada pada suatu spectrum. Pada suatu tes
intelegensinya ditemukan bahwa 1/3 dari mereka memiliki skor di bawah
rata-rata, akan tetapi ada pula anak autis yang memiliki intelegensi normal,
bahkan baik (Cohen & Bolton, 1994).
Menurut CARS gejala yang muncul
bervariasi dari ringan-berat. Kelainan tingkah laku muncul setiap saat dan
tidak sesuai dengan usianya. Namun ahli lain justru berpendapat, kategori
autism ringan-sedang-berat, tidak tepat karena autism adalah gangguan
perkembangan yang berat (pervasive).
C. PENGAYAAN
Sebagai tambahan pengetahuan
mengenai bagaimana kemungkinan perkembangan anak autism, Wenar (1994) secara
khusus menjelaskan jalannya perkembangan pada penderita autism, sebagai
berikut.
1. Infant
2. Toddler/Preschooler
3. Middle
Childhood
4. Adolescence
5. Adult
KEGIATAN BELAJAR 2
PENANGANAN ANAK DENGAN GANGGUAN AUTISM
A. PENANGANAN ANAK AUTISM
Penanganan anak autism ditujukan untuk ‘mengejar keterlambatan
perkembangan yang dialaminya, agar sesuai dengan perkembangan anak-anak lain
seusianya.
Usia balita merupakan saat paling
tepat memberikan penanganan pada kasus anak austism karena masa balita adalah
masa awal untuk mempelajarai sesuatu. Dengan intervensi diri secara intensif dan
optimal, diharapkan anak bisa memperoleh manfaat terbesar dari penanganan yang
dilakukan. Penanganan anak autism biasanya berbentuk terapi.
Selain itu, anak-anak di bawah usia
3 tahun masih memiliki otak yang bersifat plastis. Sel-sel otak berkembang
sedemikian pesat sehingga ketika ada gangguan pada salah satu bagian otak
diharapkan masih dapat tergantikan dengan sel-sel baru. Walaupun masih terus
diteliti masih dapat diyakini bahwa anak menyandang autism memiliki gangguan pada bagian otaknya. Disinilah
terapi berperan sebagai stimulasi bagi perkembangan fungsi sel-sel otak
tersebut.
B. MACAM-MACAM TERAPI BAGI ANAK
AUTISM
Metode terapi yang paling sering diberikan pada anak penyandang
autism (Nakita, 2002) :
1. Metode
Lovaas atau Applied Behavioral Analysis (ABA)
Applied Behavioral Analysis (ABA)
adalah salah satu metode modifikasi tingkah laku (behavior modification), yang
digunakan untuk menangani anak-anak penyandang autism.
Metode Lovaas memiliki sejumlah
keunggulan dibandingkan dengan metode lainnya. Pertimbangannya antara lain
ialah karena dasar metode ini sudah berusia seabad lebih dan telah melalui
berbagai penelitian yang terus menerus dikembangkan. Kelebihan lainnya, metode
ini sistematis, terstruktur, dan terukur.
2. Sensory
Integration Therapy (terapi SI)
Terapi SI mendasarkan diri pada
peningkatan kemampuan integritas sensoris. Kemampuan integrasi sensoris adalah
kemampuan untuk memproses impuls yang
diterima dari berbagai indera secara stimulant.
Sebaliknya pada anak autism yang
terlalu sensitif terhadap suatu stimulus spesifik, mereka akan menjadi sangat
marah atau gelisah ketika mendengar suara melengking atau suara microwave yang
umumnya tidak terdengar oleh orang-orang non-autistik.
Untuk kasus anak autism yang
cenderung tidak peka terhadap stimulus sensorinya, terapi ini bisa dimanfaatkan
karena bertujuan meningkatkan kesadaran sensoris (sensory awareness) dan
kemampuan berespon terhadap stimulus sensoris tersebut.
Pelaksanaan terapi ini bisa
dimanfaatkan berbagai stimulus yang bervariasi. Antara lain ayunan, bolam
trampoline, sikat dan baju yang lembut, parfum, lampu-lampu berwarna, pemijatan
(massage), dan barang-barang dengan tekstur bervariasi.
Beberapa laporan tentang
keberhasilan terapi ini menunjukkan bahwa perilaku stereotype dan kecenderungan
menyakiti diri dapat dikontrol atau dikurangi. Ini dikarenakan anak sudah bisa
membedakan stiulus keras pendapat yang menyatakan bahwa terapi ini juga berhasil
menekan stress dan kecemasan pada penyandang autism.
C. TERAPI DAN KESEMBUHAN
Setelah mengenal 2
jenis terapi yang biasa diberikan kepada anak-anak penyandang autism, perlu
untuk diperhatikan bahwa walaupun anak autism harus mengikuti terapi untuk
mengembangkan kemampuannya yang tertinggal, namun terapi bukan mukjizat.
Artinya tidak dapat dipastikan bila seorang anak penyandang autism telah
mengikuti suau\tu terapi maka ia akan ‘sembuh’ dan terbebas dari gangguan
autism-nya.
D. PENANGANAN ANAK AUTISM OLEH
GURU
Pada umumnya anak
autism memiliki IQ pada rentang batas normal. Sehingga banyak anak autism yang
pada akhirnya ditransfer ke sekolah umum. Kemampuan membaca, matematika, maupun
akademis secara umum tidak tertinggal dari teman-teman sekelasnya.
Yang menjadi masalah selanjutnya
adalah masalah komunikasi dan sosialisasi. Anak autism sering dilaporkan tidak
memiliki teman di sekolah karena mereka lebih tertarik pada benda dibandingkan
manusia. Keluhan lain yang biasa muncul adalah masalah perilaku, di mana anak
autism sering kali tidak dapat mengendalikan emosinya. Perilaku agresif sering
ditunjukannya yang membuat mereka menjadi memiliki masalah dengan
teman-temannya.
Ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan
selaku guru, bila di kelas Anda terdapat 1 atau 2 orang anak autism.
1. Belajar
Menyelami Emosi Anak Autism
Anak autism banyak menunjukkan emosi
negatif, misalnya suka berteriak-teriak, tiba-tiba memukul orang lain atau
menyakiti diri sendiri. Oleh sebab itu sering kali anak autism dikatakan
sebagai sosok yang nakal, hiperaktif, susah diatur dan tidak mempunyai rasa
sayang terhadap orang lain.
2. Harus
Terus Memberi Stimulasi
a. Jangan
biarkan anak tenggelam dalam dunianya sendiri
b. Macam-macam
pemberian stimulasi
3. Melatih
Insting Sosial
4. Mengembang
Potensi Anak
E. PENGAYAAN
Harus Dite GLUTEN-KASEIN
Gluten adalah protein yang berasal
dari gandum-ganduman misalnya terigu. Sedangkan kasein berasal dari susu sapi.
Berdasarkan hal tersebut maka para
ahli sepakat bahwa seorang penyandang autism sebaiknya berdiet gula dan kasein.
MODUL 12
KEGIATAN
BELAJAR 1
HAKIKAT
PERILAKU AGRESIF
A. PENGERTIAN PERILAKU AGRESIF
Perilaku agresif sebenarnya sangat jarang ditemukan pada anak
yang berusia di bawah 2 tahun. Namun, ketika anak memasuki usia 3-7 tahun,
perilaku agresif menjadi bagian dari tahapan perkembangan mereka dan seringkali
menimbulkan masalah, tidak hanya di rumah tetapi juga di sekolah.
Dampak utama dari perilaku agresif
ini adalah anak tidak mampu berteman dengan anak lain atau bermain dengan
teman-temannya. Keadaan ini menciptakan lingkaran setan, semakin anak tidak
diterima oleh teman-temannya maka makin menjadilah perilaku agresif yang
ditampilkannya.
Harus dibedakan perilaku agresif
yang sifatnya situasional dengan perilaku agresif yang merupakan respons dari
keadaan frustasi, takut atau marah dengan cara mencoba menyakiti orang lain.
Secara definisi, yang dianggap
perilaku agresif adalah perilaku yang ditujukan untuk menyerang, menyakiti atau
melawan orang lain, baik secara fisik mapun verbal. Jadi bisa berbentuk pukulan,
tendangan dan perilaku fisik lainnya, atau berbentuk cercaan, makian, ejekan,
bantahan dan semacamnya. Perilaku agresif dianggap sebagai suatu gangguan
perilaku bila memenuhi persyaratan sebagai berikut.
1. Bentuk
perilaku luar biasa, bukan hanya berbeda sedikit dari perilaku yang biasa.
2. Masalah
ini bersifat kronis. Artinya perilaku ini bersifat menetap, terus menerus.
3. Perilaku
tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan norma social atau budaya.
B. KARAKTERISTIK PERILAKU AGRESIF
Secara umum, yang
dimaksud dengan gangguan emosi dan perilaku adalah ketidakmampuan yang
ditunjukkan dengan respons emosional atau perilaku yang berbeda dari usia
sebayanya, budaya, atau norma sosial. Gangguan emosi dan perilaku dapat saja
muncul bersama gangguan psikologis lain, misanya ADD/ADHD atau retardasi
mental.
Perilaku agresif merupakan bagian
dari perilaku antisosial. Perilaku antisosial sendiri mencakup berbagai macam
tindakan seperti tindakan agresif, ancaman secara verbal terhadap orang lain,
perkelahian, perusakan hak milik, pencurian, suka merusak (vandalis),
kebohongan, pembakaran, kabur dari rumah
dan lain-lain.
Menurut buku panduan diagnostik
untuk gangguan mental, seseorang dikatakan mengalami ganguan perilaku
antisosial (termasuk agresif) bila tiga diantara daftar perilaku khusus berikut
terdapat dalam seseorang secara bersama-sama paling tidak selama enam bulan.
Perilaku tersebut sebagai berikut.
1. Mencuri
tanpa menyerang korban lebih dari satu kali
2. Kabur
dari rumah semalam paling tidak dua kali selama tinggal di rumah orang tua
3. Sering
berbohong
4. Dengan
sengaja melakukan pembakaran
5. Sering
bolos sekolah
6. Memasuki
rumah, kantor, mobil orang lain tanpa izin
7. Menyonarkan
milik orang lain dengan sengaja
8. Menyiksa
binatang
9. Memaksa
orang lain untuk melakukan hubngan seksual
10. Menggunakan
senjata lebih dari satu kali dalam perkelahian
11. Sering
memulai berkelahi
12. Mencuri
dengan menyerang korban (misalnya perampokan)
13. Menyiksa
orang lain
KEGIATAN BELAJAR 2
PENYEBAB DAN PENANGANAN PERILAKU AGRESIF
A. PENYEBAB PERILAKU AGRESIF
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat,
sekitar 5-10% anak usia sekolah menunjukkan perilaku agresif. Secara umum, anak
laki-laki lebih banyak menampilkan perilaku agresif dibandingkan anak
perempuan. Menurut penelitian, perbandingannya 5 berbanding 1. Artinya, jumlah
anak laki-laki yang melakukan perilaku agresif kira-kira 5 kali lebih banyak
dibandingkan anak perempuan.
Sedangkan penyebab perilaku agresif
diindikasikan oleh 4 faktor utama yaitu gangguan biologis dan penyakit,
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan pengaruh budaya yang negatif.
Perlu diingat, bahwa faktor penyebab ini sifatnya kompleks dan jamak. Jadi
tidak mungkin hanya satu faktor saja yang menjadi penyebab timbulnya perilaku
agresif.
1. Faktor
Biologis
Emosi dan perilaku dapat dipengaruhi
oleh faktor genetic, neurologis, atau biokimia, juga kombinasi dari ketiganya.
2. Faktor
Keluarga
Sebenarnya tidak ada kaitan langsung
antara keluarga dalam hal ini orang tua dengan masalah perilaku anak.
Beberapa faktor keluarga yang dapat
menyebabkan perilaku agresif antara lain sebagai berikut :
a. Pola
asuh orang tua yang menerapkan disiplin dengan tidak konsisten
b. Sikap
permisif orang tua, yang biasanya berawal dari orang tua yang merasa tidak
dapat efektif untuk menghentikan perilaku menyimpang anaknya sehingga cenderung
membiarkan saja atau tidak mau tahu. Sikap permisif ini membuat perilaku agresif cenderung menetap.
c. Sikap
yang keras dan penuh tuntutan, yaitu orang tua yang terbiasa menggunakan gaya instruksi agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, jarang memberikan kesempatan pada anak
untuk berdiskusi atau berbicara akrab dalam suasana kekeluargaan. Dalam hal ini
muncul hukum aksi-reaksi, semakin anak dituntut orang tua, semakin tinggi
keinginan anak untuk memberontak dengan perilaku agresif.
d. Gagal
memberikan hukuman yang tepat sehingga hukuman justru menimbulkan sikap
permusuhan anak pada orang tua dan meningkatkan perilaku agresif anak.
e. Memberi
hadiah kepada perilaku agresif atau memberikan hukuman untuk perilaku
prososial. Orang tua kadang memberikan hadiah secara langsung pada perilaku
agresif arah dengan memberikan perhatian.
f. Kurang
memonitor di mana anak-anak berada
g. Kurang
memberikan aturan
h. Tingkat
komunikasi verbal yang rendah antara orang tua dengan anak, seperti jarang ada
diskusi untuk memecahkan masalah anak dan tidak memberikan alasan yang jelas
dan menerapkan aturan.
i. Gagaln
menjadi model yang baik dalam membiasakan perilaku prososial dan ketrampilan
memecahkan masalah sehingga anak mencontoh apa yang dia lihat dari orang
tuanya.
j. Munculnya
perilaku agresif pada anak dari pada ibu yang sabar dan bijak
3. Faktor Sekolah
Beberapa anak sudah mengalami
masalah emosi atau perilaku sebelum mereka mulai masuk sekolah. Sedangkan anak
yang lainnya mulai menunjukkan perilaku agresif ketika mulai bersekolah.
4. Faktor Budaya
Bandura (1979) mengungkapkan
beberapa akibat penayangan kekerasan di media, yaitu sebagai berikut.
a. Mengajari
anak dengan tipe perilaku agresif dan ide umum bahwa segala masalah dapat
diatasi dengan perilaku agresif
b. Anak
menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan rintangan terhadap kekerasan dan
perilaku agresif sehingga perilaku agresif tampak lumrah dan bisa diterima.
c. Menjadi
tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan dan penderitaan (menumpulkan empati
dan kepekaan sosial).
d. Membentuk
citra manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang
tidak aman untuk hidup.
B. PENANGANAN PERILAKU AGRESIF
Penanganan
terhadap masalah perilaku agresif harus dilakukan secara menyeluruh, artinya
semua pihak harus terlibat, termasuk guru, orang tua dan lingkungan sekitarnya.
Terhadap anak yang menampilkan
perilaku agresif, biasanya dikenakan hukuman akibat perilaku yang ia lakukan.
Penerapan hukuman dalam berbagai bentuk tidak akan menyelesaikan masalah,
justru akan meningkatkan perilaku agresif.
Kelemahan anak yang menampilkan
perilaku agresif adalah ia tidak menguasai keterampilan sosial. Untuk itu guru
dapat mengajarkan bagaimana cara menanggapi perasaan orang lain dan perasaan
dirinya sendiri serta perilaku yang tepat untuk bertingkah laku dalam suatu
lingkungan sosial. Misalnya dengan berlatih mengungkapkan perasan yang
dirasakan; senang, sedih, marah, gembira, dan perilaku seperti apa yang harus
dilakukan ketika ada teman yang mengambil barang tanpa mita izin. Bentuk
pengajaran dapat berupa latihan atau role play. Dengan demikian anak mendapatkan
model perilaku yang positif dan mengetahui bagaimana harus bersikap dalam suatu
situasi sosial tertentu.
Teknik lain dapat digunakan untuk
mengatasi masalah agresifvitas adalah menampilkan tingkah laku positif sebagai model
dalam merespons perilaku agresif dan membantu anak untuk berlatih menampilkan
perilaku nonagresif.
Guru dapat berperan sebagai model
bagi siswanya dengan tidak menampilkan perilaku agresif juga, misalnya marah
atau balas membentak, ketika menghadapi anak dengan perilaku agresif.
Anak dengan perilaku agresif sering
kali sulit untuk menyampaikan keinginan dan perasaannya secara tepat, tanpa
menampilkan perilaku agresif.