MODUL
1
PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DI SD
KEGIATAN
BELAJAR 1
TEORI
BELAJAR PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD
A. HAKIKAT ANAK DIDIK PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA
DI SD
1. Anak
Didik Pembelajaran Matematika di SD
Pembelajaran matematika di SD merupakan
salah satu kajian yang selalu menarik untuk dikemukakan karena adanya perbedaan
karakteristik khususnya antara hakikat anak dan hakikat matematika. Untuk itu
diperlukan adanya jembatan yang menetralisir perbedaan atau pertentangan
tersebut. Anak usia SD sedang mengalami perkembangan pada tingkat berpikirnya.
Di lain pihak, matematia adalah ilmu deduktif,
aksiomatik, formal, hierarkis, abstrak, bahasa simbol yang padar anti dan
semacamnya sehingga pada ahli matematika dapat mengembangkan sebuah sistem
matematika
Dari dunia matematika yang merupakan sebuah sistem
deduktif telah mampu mengembangkan model-model yang merukan contoh dari sistem
ini. Manfaat lain yang menonjol dari matematika dapat membentuk pola pikir
orang yang mempelajarinya menjadi pola pikir matematis yang sistematis, logis,
kritis dengan penuh kecermatan.
Matematika bagi siswa SD berguna untuk kepentingan
hidup pada lingkungannya, untuk mengembangkan pola pikirnya, dan untuk
mempelajari ilmu-ilmu yang kemudian. Kegunaan atau manfaat matematika bagi para
siswa SD adalah sesuatu yang jelas dan tidak perlu dipersoalkan lagi,
lebih-lebih pada era pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.
2. Anak
sebagai Individu yang Berkembang
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa
perkembangan anak itu berbeda dengan orang dewasa. Hal ini tampak jelas baik
pada bentuk fisiknya maupun dalam cara-cara berpikir, bertindak, tanggung
jawab, kebiasaan kerja, dan sebagainya.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Jean Peaget dan
teman-temannya menunjukkan bahwa anak tidak bertindak dan berpiir sama seperti
orang dewasa.
Oleh karena itulah, tugas utama sekolah ialah menolong
anak mengembangkan kemampuan intelektualnya sesuai dengan perkembangan
intelektual anak.
Berbagai strategi pembelajaran dari teori-teori
pembelajaran matematika yang akan digunakan haruslah disesuaikan dengan
kondisi-kondisi tersebut di atas. Kesesuaian ini akan memungkinkan keefektifan
dan keefisienan dan usaha-usaha kita dalam pembelajaran matematika khususnya di
SD.
3. Kesiapan
Intelektual Anak
Para ahli jiwa
seperti Peaget, Brownell, Dienes percaya bahwa jika kita akan memberikan
pelajaran tentang sesuatu kepada anak didik maka kita harus memperhatikan
tingkat perkembangan berpikir anak tersebut.
Jean Peaget dengan teori belajar yang disebut Teori
Perkembangan Mental Anak (mental atau intelektual atau kognitif) atau ada pula
yang menyebutnya Teori Tingkat Perkembangan Berpikir Anak telah membagi tahapan
kemampuan berpikir anak menjadi empat tahapan, yaitu tahap sensori motorik
(dari lahir sampai usia 2 tahun), tahap operasional awal/pra operasi (usia 2
sampai 2 tahun sampai 7 tahun), tahap operasional / operasi konkret (usia 11
atau 12 tahun) dan tahap operasional formal / operasi formal (usia 11 tahun ke
atas) untuk bisa mengetahui tahapan perkembangan intelektual atau berpikir
siswa di SD dalam pembelajaran matematika.
a. Kekekalan
bilangan (banyak)
Bila anak telah memahami
bilangan maka ia akan mengerti bahwa banyaknya benda-benda itu akan tetap
walaupun letaknya berbeda-beda. Misalnya mereka akan berpendapat bahwa
banyaknya pensil yang disimpan secara berdekatan dengan yang lebih renggang dan
dijajarkan sama .
b. Kekekalan
materi (zat)
Anak
belum memahami kekekalan materi atau zat akan berpendapat bahwa banyaknya air
pada ke-2 bejana (gelas) di sebelah kanan adalah berbeda banyaknya (zat)
walaupun ditumpahkan dari 2 bejana yang isinya sama. Pada keadaan seperti ini
anak baru bias memahami yang sama atau berbeda itu dan satu sudut pandangan
yang tampak olehnya.
c. Kekekalan
panjang
Anak
yang belum memahami kekekalan panjang akan mengatakan bahwa dua utas tali
(kawat) yang tadinya sama panjangnya menjadi tidak sama panjang, bila yang satu
dikerutkan dan yang satunya lagi tidak. Ia cenderung berpendapat bahwa tali
atau kawat yang tidak dikerutkan akan lebih panjang.
d. Kekekalan
luas
Pada tahapan ini siswa belum
memahami bahwa luas daerah persegipanjang PQRS adalah sama dengan luas daerah
persegipanjang ABCD dan luas daerah segitiga ABD adalah setengah luas daerha
jajargenjang ABCD. Seperti halnya kita ketahui bahwa siswa usia sekitar 8 – 9
tahun baru dapat memahami hokum kekekalan luas.
e. Kekekalan
berat
Anak
yang sudah memahami hokum kekekalan berat ia mengerti bahwa berat benda itu
tetap walaupun bentuknta, tempatnya, dan atau alat penimbangannya berbeda-beda.
Umumnya siswa pertengahan SD sekitar 9 – 10 tahun sudah memahami hokum
kekekalan berat.
f. Kekekalan
isi
Usia sekitar 14 – 15 tahun
atau kadang-kadang sekitar 11 – 14 tahun anak sudah memiliki hokum kekekalan
isi. Misalnya ia sudah mengerti bahwa air yang ditumpahkan dari sebuah bak atau
gelas yang penuh adalah sama dengan isi sebuah benda yang ditenggelamkannya.
g. Tingkat
pemahaman
Tingkat
pemahaman usia SD sekalipun di kelas-kelas akhir mereka tetap terbatas. Mereka
akan mengalami kesulitan merumuskan definisi dengan kata-katanya sendiri.
Mereka baru bias menyatakan
bahwa 2 + 0 = 2, 4 + 2 = 6; 6 + 4 = 10, 8 + 4 = 12 (secara transitif), tetapi
meraka belum mampu menyimpulkan secara induktif bahwa jumlah dua bilangan genap
adalah genap, apalagi membuktikan secara umum bahwa jumlah dua bilangan genap
adalah genap (deduktif).
B. TEORI-TEORI BELAJAR MATEMATIKA PADA
PEMBELAJARANNYA MATEMATIKA DI SD
Pada kenyataannya
di antara para ahli teori-teori belajar masih belum ada kesepahaman tentang
bagaimana anak belajar dan cara-cara pembelajarannya.
Pada umumnya penyampaian bahan ajar
kepada siswa termasuk pembelajaran matematika biasanya didasarkan pada teori-teori
belajar yang dianggap sesuai oleh guru, pengelola pendidikan termasuk penyusun
dan pengembang kurikulum.
1. Teori
Belajar Bruner
Jerome S. Bruner dari Universitas
Harvard menjadi sangat terkenal dalam dunia pendidikan umumnya dan pendidikan
matematika khususnya. Bruner menekankan bahwa setiap individu pada waktu
mengalami atau mengenal peristiwa atau benda di dalam lingkungannya, menemukan
cara untuk menyatakan kembali peristiwa atau benda tersebut di dalam
pikirannya, yaitu suatu model mental tentang peristiwa atau benda yang
dialaminya atau dikenalnya.
Menurut Bruner, hal-hal tersebut
dapat dinyatakan sebagai proses belajar yang terbagi menjadi tiga tahapan,
yaitu :
a.
Tahap
Edukatif atau Tahap Kegiatan (Enactive)
Tahap pertama anak belajar
konsep adalah berhubungan dengan benda-benda real atau mengalami peristiwa di
dunia sekitarnya. Pada tahap anak masih dalam gerak reflek dan coba-coba, belum
harmonis memanipulasikan, menyusun, menjejerkan, mengutak-ngatik bentuk-bentuk
gerak lainnya (serupa dengan tahap sensori motor dari Piaget)
b. Tahap
Ikonik atau Tahap Gambar Bayangan (Iconic)
Pada tahap ini, anak telah mengubah,
menandai dan menyimpan peristiwa atau benda dalam bentuk bayangan mental.
c. Tahap
Simbolik (Symbolic)
Pada tahap terakhir ini anak
dapat mengutarakan bayangan mental tersebut dalam bentuk symbol dan bahasa.
Apabila ia berjumpa dengan suatu symbol maka bayangan mental yang ditandai oleh
symbol itu akan dapat dikenalnya kembali.
Sebenarnya ketiga tahapan belajar dari
Bruner ini sudah sejak lama kita terapkan pada pembelajaran matematika di SD,
misalnya seperti berikut ini.
Tahap 1. Matematika yang bersifat abstrak biaanya diawali dari
persoalan sehari-hari yang sederhana (peristiwa di dunia sekitarnya), atau menggunakan
benda-benda real / nyata / fisik / konkret.
Tahap 2. Model (Model matematika) di sini berupa gambaran dari
bayangan. (Model semi konkret atau model semi abstrak).
Tahap 3. Pada tahap ke-3 merupakan tahap akhir haruslah digunakan
symbol-simbol (lambang-lambang) yang bersifat abstrak sebagai wujud dari bahasa
matematika (Model abstrak).
Berdasarkan pecobaan dan
pengalamannya itu, Bruner dan Kenney telah merumuskan 4 teorema (dalil/kaidah)
pada pembelajaran matematika, yaitu sebagai berikut.
a. Teorema Penyusunan (Teorema Konstruksi)
Menurut teorema
penyusunan, bahwa cara yang terbaik memulai belajar suatu konsep matematika,
dalil atau aturan, definisi dan semacamnya dalah dengan cara menyusun
penyajiannya. Bruner percaya adalah sebaiknya untuk siswa memulai dengan
penyajian konkret, kemudian mencoba ide itu sebagai fasilitator disusunnya
sendiri mengenai ide tu di sini guru sifatnya hanyalah membantu.
Misalnya, untuk memahami
konsep penjumlahan tersebut kita tentukan 4 + (-3) = 0.
b. Teorema Notasi
Teorema
notasi menyatakan bahwa dalam pengajaran suatu konsep, penggunaan notasi-notasi
matematika harus diberikan secara bertahap, dimulai dari yang sederhana yang
secara kognitif dapat lebih mudah dipahami siswa sampai kepada yang semakin
kompleks notasinya. Sebagai contoh notasi y = f(x) notasi seperti ٱ = 2 ∆ + 5 dengan ٱ dan ∆ merupakan
bilangan-bilangan asli. Notasi y = 2x + 5. Baru untuk para siswa pada Aljabar
lanjut digunakan notasi y = f(x) atau {(x,y)/y = f(x) = 2x + 5, x, y ε R) untuk
menyatakan suatu konsep fungsi.
c. Teorema Pengontrasan dan Keanekaragam
(Teorema Kontras dan Variasi)
Teorema
ini mengatakan bahwa prosedur penyajian suatu konsep dari yang konkret ke yang
lebih abstrak harus dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan beraneka ragam.
Misalnya busur jari-jari, garis tengah, tali busur, tembereng, juring dari
suatu lingkaran, semuanya akan lebih bermakna apabila mereka dipertentangkan
satu sama lainnya.
Selain pengontrasan, pada
pembelajaran matematika perlu adanya penyajian yang beraneka ragam
(bervariasi). Misalnya konsep lingkaran diperkenalkan dengan menggunakan
benda-benda berbentuk silinder, kerucut, cincin, roda, gelang, dan
gambar-gambar lingkaran dengan berbentuk ukuran jari-jari.
d. Teorema Pengaitan (Teorema Konektivitas)
Menurut teorema
ini bahwa setiap konsep, dalil dan keterampilan matematika berkaitan dengan
konsep, dalil, dan keterampilan matematika lainnya.
2. Teori Belajar Dienes
Zoltan
P. Dienes adalah seorang guru matematika (Pendidikan di Hongaria, Inggris dan
Perancis) telah mengembangkan minatnya dan pengalamannya dalam pendidikan
matematika. Dasar teorinya sebagian didasarkan atas teori Piaget.
No comments:
Post a Comment